Laporan : Hendra Afriyanto
RedAksiBengkulu.co.id, KEPAHIANG – Dalam membangun sebuah monumen, atau patung, biasanya ada syarat atau unsur jejak sejarah di dalamnya. Dan biasanya, tokoh yang dijadikan sebuah monumen patung itu dikenal dengan karakteristiknya yang kuat dan bersahaja.
Di salah satu sudut desa di Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, ada sebuah patung yang masyarakat menganggapnya ia adalah pahlawan. Desa itu namanya Desa Tanjung Alam. Sedang patung yang berada tepat di depan Masjid Al Muttaqin itu bernama Patung Lettu (Letnan Satu) Djafri Sidik.
Dari pusat Kota Kepahiang berjarak sekitar 18 kilometer. Akses menuju desa itu pun terbilang lancar dan mudah dengan melintasi jalan hotmix. Patung Lettu Djafri Sidik yang dibangun pada 1991 silam itu terpampang mengenakan pakaian militer lengkap, berdiri tegap sambil memegang bambu runcing seolah sedang bersiap menunggu serangan.
Tidak banyak masyarakat Kepahiang yang tahu keberadaan dan historis patung tersebut. Bahkan masyarakat Desa Tanjung Alam dan sekitarnya pun belum banyak mengetahui jelas siapa sebenarnya sosok patung yang berdiri tegak di tengah desa tersebut yang notabene memiliki nilai sejarah penting itu. Yang mereka tahu, cuma mengetahui ada sosok patung di tengah desanya.
“Tahu kalau di desa kami ada Patung Pahlawan. Tapi siapa pahlawan itu, saya tidak tahu,” aku salah seorang warga desa setempat.
Basis Tentara Hitam
Kepada RedAksiBengkulu.co.id, Kepala Desa Tanjung Alam, Ferry Marzoni menjelaskan, sebelum dibangun tahun 1991, patung setinggi 3 meter dari dasar jalan itu, 75 tahun sebelumnya merupakan Tugu Pramuka (Tunas Kelapa) yang dibangun tahun 1941.
Dalam catatan sejarah yang tertuang dalam profil desa, tahun 1941 masyarakat Desa Tanjung Alam hidup berkelompok-kelompok atau yang disebut sebagai talang. Terdiri dari Talang Marap, Talang Napal, Talang Pagar, Talang Pak Kesin.
Dari talang tersebut timbullah kesepakatan untuk bersatu kemudian membentuk kelompok. Masing-masing perwakilan talang menghadap Jenang Kalam yang saat itu adalah Pesirah dan akhirnya membentuk satu desa diberi nama Tanjung Alam. Lalu terbentuklah satu kepala pemerintahan yang kala itu istilahnya dengan nama Kerio atau Depati atau Ginde. Dan Depati kala itu bernama Gegap. Sayangnya, kepemimpinan Depati Gegap selama 7 tahun belum memiliki batas wilayah yang jelas.
Kemudian pemerintahan desa dilanjutkan oleh Depati Ta’ib tahun 1948 – 1960. Di masa kepemimpinan Depati Ta’ib, merupakan masa perjuangan mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pada tahun 1949, Desa Tanjung Alam merupakan basis perjuangan gerilya Tentara Rakyat Indonesia (TNI kini) untuk mengusir Tentara Belanda. Dan pergerakan di desa itu dikenal dengan Basis Tentara Hitam yang dikomandoi oleh Lettu Djafri Sidik.
Dijelaskan lagi oleh Ferry, basis Tentara Hitam itu sendiri merupakan tempat persembunyian, perencanaan strategi dan markas pasukan khusus supaya tidak terdeteksi penjajah. Sementara itu markas utama TRI saat itu berada di Tebing Benteng (Markas Kodim 0409/Rejang Lebong saat ini).
“Basis Tentara Hitam itu tempat berkumpulnya tentara khusus agar tidak diketahui oleh penjajah. Dengan kata lain markas khusus,” kenang Ferry.
Masih dalam catatan sejarah yang diingat Ferry, pernah ada Tentara Belanda yang mencoba untuk menyusup ke lokasi Basis Tentara Hitam, namun berhasil ditangkap. Tentara Belanda yaitu bernama Fit. Bukti penangkapan itu diabadikan dengan foto bersama dengan Tawanan Belanda.
“Meski tawanan, namun penyusup itu masih diperlakukan dengan baik demi menjaga kerahasiaan lokasi Basis Tentara Hitam. Fit itu pun diajak bergabung dengan Tentara Hitam dan berbaur dengan pasukan Tentara Hitam. Foto tawanan Fit itu masih kami simpan,” kenangnya.
Desa Republik yang Terkesan Tak Diakui
Ada pepatah mengatakan, Bangsa yang besar adalah Bangsa yang mengenang jasa para pahlawannya. Setidaknya, masyarakat setempat menjuluki desanya yang dahulu kala pernah sebagai desa dengan sistem pemerintahan tersendiri sebagai Desa Republik. Tentunya hal itu tidak terlepas dari fakta sejarah yang pernah ada keterkaitannya di desa tersebut.
Pun demikian, tidak ada perlakuan spesial terhadap Patung Lettu Djafri Sidik. Hanya saja, setiap Hari Kemerdekaan 17 Agustus, patung itu hanya dipasangkan Bendera Merah Putih di ujung Bambu Runcing pada patung tersebut.
Kades juga menjelaskan, tidak ada perlakuan khusus atau istimewa dari pemerintah daerah terhadap patung yang ada di desanya itu.
“Tidak ada peringatan apapun pada momentum Hari Kemerdekaan atau Hari Pahlawan. Kami juga bingung harus berbuat apa dalam mengenang desa kami yang bersejarah ini? Setidaknya, untuk mengenang jasa pahlawan khususnya dari desa kami ini, pada Hari Kemerdekaan, kami pasang Bendera Merah Putih. Itulah wujud rasa syukur dan terimakasih kami dengan pahlawan,” ucap Ferry sembari menunjuk ke arah Bambu Runcing pada patung itu.
Urutan Kades di Tanjung Alam Sejak Sebelum Kemerdekaan
Kepemimpinan Desa Tanjung Alam dimulai dari Depati Gegap yang memimpin selama 7 tahun yakni tahun 1941 – 1948. Lalu dilanjutkan Depati Ta’ib tahun 1948 – 1960. Berikutnya dipimpin oleh Depati Salal pada tahun 1960 – 1965. Lalu dilanjutkan Depati Sahab tahun 1965 – 1970. Depati Ibnu Hajar pada tahun 1970 – 1978.
“Nah, di tahun 1978 ini terjadi pemilihan pemimpin secara demokrasi dan diberi nama pemilihan kepala desa. Dan kepala desa yang memimpin saat itu adalah Zainal Abidin pada tahun 1978 – 1983,” jelasnya.
Ferry kembali memaparkan, Kepala Desa Zainal Abidin sempat terpilih lagi di tahun 1993 – 2001 setelah pada periode pertama lengser dilanjutkan oleh Apnani pada 1983 – 1993. Usai kepemimpinan Zainal Abidin, kades selanjutnya adalah Rahadi yang menjabat tahun 2001 – 2008. Lalu dilanjutkan Siswadi tahun 2008 – 2015.
“Dan saya sendiri baru menjabat 2015 – sampai sekarang,” papar Ferry.
Didominasi Suku Serawai
Kini, Desa Tanjung Alam yang memiliki luas wilayah 400 hektar meter persegi itu dihuni dengan jumlah penduduk sebanyak 965 jiwa. 471 jiwa diantaranya laki-laki dan selebihnya 494 jiwa perempuan. Di desa itu ada 284 kepala keluarga (KK) yang terbagi di 4 wilayah dusun. Suku yang paling dominan berasal dari Suku Serawai yakni Suku dari Bengkulu Selatan. Disusul kemudian dari etnis Rejang, Jawa dan lainnya.
65 % daerah itu merupakan daratan dengan kondisi geografi berbukit-bukit. 35 % daratan dimanfaatkan sebagai lahan persawahan dan irigasi. Iklim kemarau dan hujan sangat berpengaruh pada pola tanam petani desa setempat. Sayangnya, kata Ferry, akses transportasi menuju desanya hanya satu jalur. Yakni melalui Desa Cugung Lalang yang melintasi Sungai Air Musi yang masuk dalam zona PLTA Ujan Mas.
Sementara saat ini, desa itu masih terus dihantui keterisoliran jika hujan deras melanda. Pasalnya, jalan lintas menuju desa tepatnya sesudah jembatan di Desa Cugung Lalang selalu tergenang banjir pasca hujan deras.
“Salah satu faktor penyebab sulitnya berkembang desa kami dan sulitnya dikenal karena kekhawatiran terisolir jika hujan deras. Seandainya desa kami berada di jalan pelintasan, mungkin tidak seperti ini kondisinya. Karena desa kami ini desa paling ujung dari lintasan 4 desa sebelumnya yakni Desa Air Hitam, Suro Bali dan Cugung Lalang,” demikian Ferry.
Mantab