Sejarah Asal Mula Neron, Monumen Thomas Parr dan Logo Provinsi Bengkulu

0
91

Neron Gratis yang digelar ‘Tobo Berendo’ di Danau Dendam Tak Sudah setiap Minggu pagi. [Foto : Dok. Tobo Berendo]

RedAksiBengkulu.co.id, BENGKULU – Kata Neron sangat kerap terdengar di masyarakat Kota Bengkulu, khususnya di wilayah Lembak terutama Kelurahan Dusun Besar, Jembatan Kecil, Panorama dan sekitarnya. Lain halnya di beberapa daerah (kelurahan) lain yang juga basis masyarakat Lembak, seperti di Kelurahan Pagar Dewa, Sukarami, Pekan Sabtu hingga ke Betungan atau wilayah Lembak 8 sekitarnya. Namun, seiring waktu, kata neron lebih dikenal dengan istilah minum kopi (ngopi) atau minum teh (ngeteh). Itulah kenapa kata neron tidak se-tren di tiga ‘dusun’ tersebut.

Sejarah neron adalah berasal dari nama seorang yang bernama Neron. Konon, Neron adalah orang lembak wilayah kota pertama kali yang membuat gula merah (Gule Abang, Bahasa Lembak). Neron kala itu tinggal di Tanyung Gelam (kini bernama Jalan Jaya Wijaya Kelurahan Dusun Besar). Keseharian Neron bermatapencaharian sebagai Peramu Gula Merah. Setiap hari dia kerjanya memisahkan air nira.

Wikipedia menjelaskan, Nira merupakan cairan yang manis yang diperoleh dari batang tanaman. Seperti tebu, bit, sorgum, mapel, atau getah tandan bunga dari keluarga palma, seperti aren, kelapa, kurma, nipah, sagu, siwalan dan sebagainya. Pada umumnya, air nira yang dimaksud oleh masyarakat Bengkulu adalah air dari sari bunga batang aren yang juga sebagai bahan baku pembuat gula merah. Nira dari aren mengandung gula antara 10 – 15%. Cairan ini dapat diolah menjadi minuman segar, difermentasi menjadi tuak nira, dijadikan sirup aren, atau diolah lebih lanjut menjadi gula aren, gula semut dan sebagainya.

Oleh Neron , hasil sadapan air nira itu selain untuk gula merah juga untuk diminum bersama tamu yang datang. Perilaku minum bersama dengan tamu itu akhirnya menjadi kebiasaan. Termasuk juga dengan perilaku sebutan neron.

Apresiasi dari banyak pihak atas aktivitas neron yang dilakukan Tobo Berendo. [Foto : Dok. Tobo Berendo]

Sebutan neron ini pun sebenarnya peralihan bahasa yang awalnya oleh masyarakat Lembak menyebut ingin pergi ke rumah si Neron, disingkat pergi (ke rumah) Neron. Maksud dan tujuannya (ke rumah) Neron untuk minum air nira hasil sadapan si Neron.

Seiring waktu pula, neron mengalami peralihan makna. Ada yang menyebutnya neron seketab, yaitu minum teh sambil menggit gula aren sebagai pemanisnya. Ada juga neron yang dimaksudkan minum teh dengan menambahkan santan kelapa. Namun tetap pada intinya neron adalah minum kopi atau minum teh (ngeteh).

 

Neron dan Monumen Thomas Parr

Di sisi lain, ada juga yang menyebutkan, sejarah istilah neron bermula atas kemenangan perjuangan masyarakat pribumi melawan penjajah Inggris. Pada versi perjuangan ini disebut-sebut, bahwa ketika itu sedang terjadi masa penjajahan Inggris. Oleh pemerintahan Inggris, masyarakat kota dipaksa untuk menanam tanaman kopi. Perlawanan tersebut sangat erat kaitannya dengan keberadaan Tugu Thomas Parr yang dibangun pada 1808 yang kini berdiri kokoh di Kota Bengkulu.

Namun sebelumnya, mari sekilas melihat kebelakang sejarah perjuangan masyarakat pribumi dengan penjajah Inggris. Dituliskan oleh Ferti Susilawati yang diterbitkan di situs blog-nya, bahwa Bengkulu dikuasai oleh Inggris selama 140 tahun. Thomas Parr sewaktu di Bengkulu berstatus sebagai Residen (gubernur atau penguasa ke – 49 dari Inggris yang diangkat pemerintah Inggris). Thomas Parr merupakan Residen pertama di Bengkulu (1805 – 1807). Sebelum Parr, yang menjabat adalah Deputy Governor Walter Ewer (1800 – 1805).

Thomas Parr tiba di Bengkulu pada 27 September 1805. Parr dikenal sebagai penguasa Inggris yang angkuh dan kejam. Namun sisi menariknya, Thomas Parr adalah orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi di Bengkulu namun dengan sistem tanaman paksa. Selain angkuh dan kejam terhadap pribumi, Parr juga demikian oleh orang-orang Bugis yang bekerja pada kompeni Inggris. Bahkan juga dirasakan oleh pejabat Inggris lainnya. Parr dianggap terlalu jauh melangkah mencampuri urusan kepemimpinan tradisional dan adat masyarakat Bengkulu. Seperti membuat pertentangan antara rakyat dengan pangeran Sungai Hitam serta peradilan. Puncak kebencian rakyat Bengkulu akhirnya tidak terbendung lagi pada malam 23 Desember 1807.

Beberapa hari berikutnya, Parr mati dibunuh dengan kepala dipenggal oleh para pejuang pribumi pada 27 Desember 1807 malam. Kematian Parr tak sendiri. Ada asistennya, Charles Murray, yang juga terbunuh dalam satu insiden di malam yang sama. Pembunuhan terhadap Thomas Parr yang kala itu berada di rumah peristirahatannya Mount Felix (sekarang Rumah Dinas Gubernur atau Gedung Daerah) dilakukan oleh rakyat dibawah pimpinan Depati Sukai Ramai (Sukarami), Depati Samsar (Pagar Dewa) dan Depati Lagan.

Monumen Thomas Parr persis di depan Kantor Pos Bengkulu. [Foto : Wikipedia]

Oleh pemuka adat kala itu, pemenggalan Thomas Parr layak didapatkan karena akibat dari keangkuhan, keserakahan dan ketidakadilan yang dilakukannya terhadap rakyat Bengkulu. Sehingga dalam bahasa Lembaknya diistilahkan banyak lan banyak uli (siapa yang melakukan kesalahan dia layak mendapat hukuman).

Pemberontakan itu disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebijakan penguasa Inggris kala itu. Kebijakan Parr sering kali menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat pribumi. Diantaranya terkait pemberlakuan tanam paksa kopi dan perubahan besar dalam sistem peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasihat dari para kepala adat rakyat Bengkulu.

Setahun kematian Parr, pihak Inggris membangun monumen pascakematian Thomas Parr. Dalam pembangunannya, rakyat dipaksa dengan kekerasan agar pembangunan monumen itu cepat selesai dalam waktu yang telah ditentukan. Selain itu, Inggris pun membalas kematian Parr dengan menembaki sejumlah penguasa lokal yang dicurigai berada dibalik pembunuhan Parr tersebut. Kompeni Inggris itu juga tak pikir panjang lagi untuk kemudian membumihanguskan desa-desa tempat tinggal pribumi termasuk membantai rakyat pribumi dengan keji dan membabi buta khususnya di daerah Sukarami, Pagar Dewa dan Lagan. Tak hanya warga, ternak pun tidak luput dari pembantaian kompeni Inggris yang kehilangan kendali tanpa prikemanusiaan.

Letak Tugu Thomas Parr persis di depan Kantor Pos Bengkulu. Inggris mendirikan monumen itu sebagai penghargaan dan penghormatan terhadap Thomas Parr. Namun tidak di mata pribumi Bengkulu. Bagi rakyat Bengkulu, monumen itu ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap para pejuang tak dikenal yang telah gugur dalam mempertahankan hak dan kemerdekaaan tanah leluhurnya dari penindasan kompeni Inggris. Sedangkan sebagian orang-orang Inggris yang mati dimakamkan di pemakaman Inggris di Kelurahan Jitra Kota Bengkulu.

Hanya saja, masih banyak yang belum tahu jika jasad Thomas Parr dikuburkan di dalam komplek Benteng Marlborought. Itu dibuktikan dan masih bisa kita jumpai jika kita berkunjung ke Benteng (Fort Marlborought).

Perkara neron pada versi ini disebutkan, bahwa neron adalah sebuah perjuangan dari ketidakadilan yang dialami pribumi karena para petani kopi hanya boleh memetik daun kopi yang kuning untuk diseduh dalam minuman. Sedang kompeni menikmati kopi dengan leluasa hasil tanaman yang dipaksa tersebut.

Setelah perjuangan rakyat Bengkulu tersebut, akhirnya rakyat Bengkulu bisa merasakan enaknya minum kopi dari biji kopi pilihan. Hingga akhirnya setelah merasakan kemerdekaan atas kopi itu, kopi pun dinyatakan sebagai sebuah kemenangan.

 

Gambar Kopi di Logo Provinsi Bengkulu

Menarik benang dari perjuangan rakyat Bengkulu terhadap penjajah Inggris, ternyata ada kaitannya antara kopi dengan logo atau lambang daerah Provinsi Bengkulu. Dijelaskan di wikipedia, Lambang Bengkulu berbentuk perisai dengan tulisan Bengkulu. Di dalam lambang perisai, terdapat lambang bintang, cerana, rudus (senjata), bunga Rafflesia Arnoldii, tangkai buah padi dan kopi.

Logo/Lambang Provinsi Bengkulu. [Gambar : Wikipedia]

Bintang memiliki makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Cerana/Cerano melambangkan kebudayaan yang tinggi. Senjata rudus melambangkan kepahlawanan. Bunga Rafflesia Arnoldii merupakan keistimewaan alam Bengkulu. Padi dan Kopi sebagai simbol kesejahteraan. Selain itu, terdapat lukisan ombak berjulah 18 garis, daun kopi 11 lembar, bunga kopi setiap tangkai berjumlah 6 buah, dan setiap tangkai berjumlah 8 di mana semuanya menunjukkan tanggal 18 November 1968 (hari lahir Provinsi Bengkulu).

Dalam hal ini, ada sekilas sejarah mengapa kopi menjadi komoditi pilihan di lambang Provinsi Bengkulu ? Konon, menurut pendiri Provinsi Bengkulu yang diantaranya ada dari Masyarakat Lembak bahwa kopi merupakan komoditi pertanian yang diperkirakan akan menjanjikan (hasil panennya) bagi rakyat. Ini dibuktikan, bahwa hampir di setiap daerah atau kabupaten di Provinsi Bengkulu ada tanaman kopi. Bahkan, Provinsi Bengkulu termasuk salah satu daerah penghasil kopi cukup besar di Indonesia.

 

Fenomena Neron

Putaran zaman pun telah memasuki era Milenial. Namun sejarah tak pantas dilupakan. Di tanah Lembak di Kota Bengkulu khususnya, selain menjadi sebutan bahasa khas (daerah) dan budaya minum kopi atau teh bersama, Neron bukan sekedar kata. Neron adalah kata dan budaya. Belakangan, beberapa pemuda Lembak melestarikan dan menggaungkan Neron dengan cara tak biasa.

Sebut saja sebuah komunitas. Adalah komunitas yang identitasnya diberi nama Tobo Berendo. Komunitas ini digagas oleh pemuda Lembak yang mana diantaranya adalah Dedi Suryadi (Sucenk), Zhuan Zhulian (Juan), Syaiful Anwar dan banyak pemuda lainnya. Mereka melakukan kegiatan ‘Neron Gratis’ setiap Minggu pagi, di danau kebanggaan masyarakat Kota Bengkulu yakni Danau Dendam Tak Sudah. Terdengar seperti sepele bahkan terkesan lebay (berlebihan). Namun siapa sangka apa yang dilakukan komunitas ini ternyata jadi rutinitas yang berkesinambungan. Minggu 16 November 2018 adalah ‘Neron Gratis #9”. Artinya, jika tiap pekan digelar Neron Gratis, Ahad ini sudah kali ke sembilan digelar.

Salah satu produk kopi high class di Bengkulu yang mengambil nama Neron sebagai merk dagangnya. [Foto : Dok. Neron Coffee]

Di ‘Neron Gratis’, siapapun masyarakat dipersila minum kopi atau teh bersama sambil duduk-duduk menikmati matahari terbit di pinggir Danau Dendam Tak Sudah. Kopi, teh, air panas dan gelas unik telah disiapkan oleh komunitas ini. Ya, gelas unik ! Gelas yang tak lazim itu terbuat dari batok/tempurung kelapa. Pengunjung atau masyarakat dipersila buat kopi sendiri tanpa bayar alias gratis. Tak hanya menikmati minuman bersama dan menyaksikan sunrise, namun juga sebagai ajang silaturahim dan membicarakan hal-hal yang positif.

“Apapun itu, yang penting arah obrolan positif dan membangun. Neron memang identik sebutan budaya Lembak. Tapi yang bukan orang Lembak pun dipersilakan gabung. Karena Neron Gratis untuk umum”, kata Dedi alias Sucenk.

Selain rutinitas ‘Neron Gratis’ oleh Tobo Berendo, kata Neron juga dipakai oleh salah satu pelaku usaha cafe’ atau kedai kopi modern sebagai merek dagang (brand) usaha yang dilakoni oleh Heri Supandi. Yakni ‘Neron Coffee’ yang berada di komplek kios pusat perbelanjaan di pesisir pantai Kota Bengkulu. Neron Coffee menyajikan kopi high class yang sudah barang tentu dari biji kopi pilihan dan dengan pengelolaan yang cukup telaten. Biji kopi didominasi kopi asal Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu.

Kaos Neronisme. [Foto : Dok. Oblong Curup]

Kata Neron juga dijadikan sebuah desain kaos oblong oleh pelaku usaha kaos, Oblong Curup di Bengkulu. Desain itu menampilkan kata Neronisme. Sejenis isyarat menunjukkan bagi orang yang mengenakan kaos itu adalah suka ngopi dan mengajak ngopi bersama. Sepertinya memang budaya neron bukan cuma sekedar sebutan, namun telah banyak inovasi krativitas yang sudah dilakukan khususnya bagi pemuda Lembak.

 

Terlepas dari perihal di atas, tulisan ini digagas sebagai pengetahuan dan wawasan bersama. Jika memang ada kekeliruan fakta sejarah, budaya atau bahasa, tentulah bukan suatu kesengajaan. Penulis hanya bermaksud mencoba melestarikan budaya khususnya Lembak melalui tradisi Neron. Selamat Hari Jadi ke-50 Provinsi Bengkulu. Semoga menjadi provinsi yang kian maju dan berkembang dan masyarakatnya semakin berintegritas.

 

Laporan : Aji Asmuni

Rekomendasi tulisan : Dedi Suryadi, Ferti Susilawati, Wikipedia dan sumber lainnya.

Comments

comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!

Please enter your name here


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.