RedAksiBengkulu.co.id, REJANG LEBONG – Sebagian petani khususnya di Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, dalam bercocok tanam bisa dikatakan masih ketergantungan dengan pupuk kimia (anorganik) dibanding dengan menggunakan pupuk kompos (organik). Kenapa? Jawabannya sederhana. Karena era kini, mindset orang terhadap segala sesuatunya lebih cenderung dengan kepraktisan alias instan. Tidak terkecuali di kalangan petani.
Petani kini lebih menginginkan prosesnya instan namun hasilnya cepat dan optimal. Tidak dipungkiri pula, bahwa instanisasi pertanian ini secara tidak sadar mengubah paradigma petani lebih berorientasi pada hasil dan angka dibanding sejatinya suatu proses. Akan tetapi tahukah kita ? Bahwa efek dari penggunaan pupuk pabrikan (anorganik) secara berlebihan tanpa perimbangan pupuk kompos (organik) akan berdampak negatif pada kesuburan tanah dalam jangka panjang dan bahkan menyebabkan bahaya eutrofikasi.
Namun tidak semua petani yang memiliki mindset ketergantungan dengan pupuk anorganik. Di Desa Air Meles Bawah Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu, ada seorang petani, Slamet (57). Yang mana sejak satu tahun terakhir ini dia terus mengembangkan pupuk organik cair yang ia kelola menggunakan urine (kencing) Kambing. Pemanfaatan urine ternak ini bisa dikatakan pertama kali untuk di Kabupaten Rejang Lebong dan hingga saat ini pupuk organik dari urine Kambing sudah mulai dipasarkannya.
“Beberapa petani di desa kami sudah banyak menggunakan pupuk organik. Tergantung petani juga yang mengerti manfaat pupuk organik”, kata Slamet kepada RedAksiBengkulu.co.id, Selasa (10/4/2018).
Pemilihan urine Kambing sendiri, kata Slamet, menurut beberapa pakar dan juga pelatihan yang didapatkannya, sangat cocok untuk pembuatan pupuk cair. Sehingga produk pupuk cair ini akan dikomersilkan secara massal dan lebih luas lagi.
“Bertahap mulai akan kami komersilkan. Nanti uangnya untuk menambah fasilitas pengolahan dan juga membuat kemasan produk yang lebih baik”, lanjutnya.
Dijelaskannya lagi, untuk memdapatkan 5 liter urine Kambing dalam 1 x 24 jam, dia memelihara kambing sebanyak 3 ekor kambing indukan dan 1 ekor jantan. Pembuatan kandang pun juga dirancang khusus sehingga tempat pembuangan kotoran kambing maupun urine bisa tersalurkan dengan baik.
Yakni dengan menggunakan pipa diameter 2 inchi yang berfungsi untuk mengaliri urine ke ember penampungan lalu dipindahkan ke bak plastik/gentong besar. Selanjutnya, setelah urine terkumpul, menambahkan air kelapa, air cucian beras, gula dan EM-4 untuk mempercepat tumbuhnya bakteri. Setelah semua tercampur lalu diendapkan selama beberapa hari untuk menjadi pupuk cair yang berkualitas.
Dari uji coba yang dia lakukan pada tanaman sayuran, alhasil tanaman itu lebih tahan lama. Dia mencontohkan pada tanaman tomat yang pernah ditanam di lahan seperempat hektar. Tomat yang dipanen dengan posisi setengah matang bisa tahan hingga 15 hari.
“Lain halnya ketika menggunakan pupuk cair kimia, dalam seminggu saja tomat jadi busuk kalau tidak disimpan di mesin pendingin”, tutur Slamet.
Slamet yang juga merupakan Ketua Kelompok Tani (Poktan) Gading Indah, Desa Air Meles Bawah ini berharap produknya itu bisa memberikan manfaat maupun pemahaman kepada petani yang ada di Rejang Lebong untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia. Karena kebanyakan petani di Rejang Lebong masih ketergantungan dengan pupuk kimia.
“Padahal pupuk kimia itu kian waktu semakin mahal. Lagi pula pupuk kimia itu memberikan efek tidak baik terhadap tanah. Dengan adanya pupuk cair ini, kami harapkan petani bisa beralih dan menggunakan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan,” katanya lagi.
Slamet juga berharap ada peran pemerintah untuk meyakinkan kepada petani di Rejang Lebong bahwa pupuk organik itu sangat ramah lingkungan dan tidak mengurangi hasil panen. Ini juga perlu sosialisasi sejak dini sebelum terlambat. Karena jika tak dimulai dari sekarang, lama kelamaan kandungan unsur hara pada tanah akan terus berkurang akibat penggunaan zat kimia.
“Kebanyakan petani memang belum paham dengan pupuk organik. Tapi bagi yang sudah paham, petani akan lebih suka menggunakan pupuk organik”, ungkapnya lagi sembari menambahkan peran pemerintah juga diharapkan dalam pengembangan pupuk organik ini.
Selain mengelola pupuk organik, ternyata pekarangan yang luasnya sekitar 1 hektar yang dikelola Slamet ini ternyata juga sering digunakan Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya. Meski sebagai lokasi itu pusat pelatihan pertanian namun tidak mengganggu masyarakat sekitar. Khususnya, kata Slamet, terkait dampak kualitas udara dalam mengelola pupuk organik tidak terlalu mengganggu penciuman warga sekitar.
“Areal pengelolahan pupuk ini memang berada di pemukiman padat penduduk. Kami juga sering berbincang dengan tetangga apakah mereka terganggu ? Syukurnya mereka mengaku tidak mengganggu dan tidak mengeluh. Karena logikanya kotoran ternak itu kan sangat tidak enak baunya”, tandasnya.
- Melalui penambahan unsur-unsur hara N, P dan K yang secara lambat tersedia,
- Meningkatkan kapasitas tukar kation tanah sehingga kation-kation hara yang penting tidak mudah mengalami pencucian dan tersedia bagi tanaman,
- Memperbaiki agregat tanah sehingga terbentuk struktur tanah yang lebih baik untuk respirasi dan pertumbuhan akar,
- Meningkatkan kemampuan mengikat air sehingga ketersediaan air bagi tanaman lebih terjamin,
- Meningkatkan aktivitas mikroba tanah.
Laporan : Muhamad Antoni