RedAksiBengkulu.co.id, KEPAHIANG – Sebagaimana diketahui, peringatan Hari Batik Nasional diperingati setiap 2 Oktober. Ini setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO. Sehingga ditetapkanlah hari itu sebagai Hari Batik Nasional di Indonesia.
Pada tanggal ini juga, seluruh lapisan masyarakat dari pejabat pemerintah dan pegawai BUMN hingga pelajar disarankan untuk mengenakan batik. Pemilihan Hari Batik Nasional pada 2 Oktober berdasarkan keputusan UNESCO yaitu Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, yang secara resmi mengakui batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. UNESCO memasukkan batik dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia. Pengakuan terhadap batik merupakan pengakuan internasional terhadap budaya Indonesia (sumber : wikipedia).
Batik sendiri dalam pengertian sederhananya adalah kain bergambar atau kain bermotif sesuai ciri khas suatu daerah. Batik juga melambangkan bahwa suatu daerah tersebut memiliki karakter budaya yang kuat. Lebih sederhananya lagi, Batik adalah Karakter Bangsa.
Di Bengkulu, ada beberapa jenis batik. Diantaranya Batik Besurek dari Kota Bengkulu, Batik Ka Ga Nga dari Rejang Lebong, Batik Diwo dari Kepahiang dan Batik Beremis dari Suku Serawai (Bagian Selatan Bengkulu).
Batik Diwo adalah batik yang memiliki motif inti aksara Rejang (Ka Ga Nga) yang dikombinasikan dengan motif lain. Diantaranya motif hasil bumi, perkebunan, pertanian atau program yang sedang diunggulkan pemerintah daerah. Mengingat motif tersebut dianggap menjadi sarana promosi daerah.
Sayang, keberadaan Batik Diwo dari Kepahiang kini sulit ditemukan. Pemerintah daerah pun terkesan tidak mempersoalkannya. Padahal keberadaan batik di suatu daerah satu sisi mencerminkan bahwa masyarakat telah sadar budaya.
Sejarah Batik Diwo
Batik Diwo tercipta atas gagasan mantan Bupati Kepahiang Bando Amin C Kader pada 2005 silam. Sedang Pendesain pertama kali Batik Diwo adalah Mariaty Wijaya yang juga ketika itu selaku Pengurus Dekranasda Kabupaten Kepahiang.
Kenapa dinamakan Batik Diwo ? Nama Diwo berasal dari kata Dewa. Namun secara pelafadzannya oleh masyarakat Rejang khususnya Kepahiang disebut Diwo. Nama Diwo dipakai karena baju-baju adat para raja Suku Rejang di zaman dulu dinamakan Baju Dewa atau Baju Diwo.
“Sebelum ditetapkan nama Batik Diwo, kami bermusyawarah terlebih dulu dengan para tokoh adat dan tokoh masyarakat dari seluruh kecamatan yang ada di Kepahiang. Sehingga hasil dari musyawarah itu ditetapkanlah namanya Batik Diwo”, tutur Mariaty yang akrab disapa Ice ini.
Batik Diwo diciptakan sebagai sarana pelestarian warisan budaya khususnya huruf Ka Ga Nga. Batik Diwo merupakan bentuk revolusi motif dari Batik Besurek agar bisa membuat putra-putri daerah Kepahiang khususnya lebih bebas berkreasi dan berinovasi. Sehingga Batik Diwo bukan saja dinikmati oleh kaum ‘raja’ melainkan bisa menembus seluruh lapisan masyarakat. Disamping itu, Batik Diwo diciptakan sebagai sarana pendukung pariwisata dan kemajuan perekonomian masyarakat Kepahiang.
Pada Batik Ka Ga Nga, murni bermotif aksara Ka Ga Nga. Dan pendesain Batik Ka Ga Nga ini biasanya hampir seluruh menggunakan aksara Ka Ga Nga. Sedang Batik Diwo hanya memakai beberapa aksara Ka Ga Nga. Sebagai pembedanya, maka Batik Diwo menggunakan motif tambahan berupa gambar atau simbol hasil bumi atau sumber daya alam (SDA) yang ada di Kepahiang. Dengan menggunakan motif aksara Ka Ga Nga, secara tidak langsung Batik Diwo juga sebagai sarana penyampai pesan moral terhadap masyarakat Kepahiang khususnya.
Meski ada motif kombinasi pada Batik Diwo, namun berdasarkan kesepakatan para tokoh adat dan tokoh masyarakat, ada potensi SDA yang dimiliki Kepahiang yang tidak boleh dijadikan sebagai motif di Batik Diwo. Yaitu, gambar atau rupa Beruk Putih atau Benuang Sakti.
Kenapa? Konon sosok hewan tersebut dalam sejarah asal muasal Rejang Empat Petulai yang kini menjadi satu suku Rejang dianggap sebagai momok bagi masyarakat Rejang.
Kenapa Batik Diwo Menggunakan Aksara Ka Ga Nga ?
Sempat menjadi sebuah pertanyaan, kenapa Batik Diwo menggunakan aksara Rejang (Ka Ga Nga)? Bukankah (motif) aksara itu sudah lekat pada Batik Ka Ga Nga ? Namun menurut Mariaty selaku Pendesain Batik Diwo menuturkan, bahwa digunakan aksara Ka Ga Nga pada Batik Diwo supaya aksara Ka Ga Nga yang merupakan warisan budaya suku Rejang tetap lestari.
“Karena Kepahiang masih bagian dari suku Rejang. Dan tidak ada salahnya melestarikan aksara Ka Ga Nga. Yang membedakan Batik Ka Ga Nga dan Batik Diwo dimotif kombinasinya”, sambung Ice.
Dijelaskannya lagi, sebagaimana diketahui bahwa Bahasa Rejang memiliki 3 dialek. Yakni dialek Rejang Kepahiang yang pastinya biasa dipergunakan oleh masyarakat Kepahiang. Kemudian dialek Rejang Curup yang sering dilafadzkan oleh masyarakat Rejang Lebong, Bengkulu Tengah (Benteng) dan Bengkulu Utara. Dan dialek Rejang Lebong yang dilafadzkan oleh masyarakat Lebong dan masyarakat di perbatasan Lebong dan Bengkulu Utara.
Dari ketiga dialek bahasa itu relatif banyak perbedaannya, namun masyarakat Rejang tetap bisa saling memahami perbedaan kosakata tersebut dalam praktek komunikasi setiap hari.
Menariknya, meski perbedaan dialek bahasa, namun secara penulisan huruf atau aksara Rejang, tidak ada beda. Dan itu dinamakan Surat Ulu. Pernyataan ini dibukukan oleh salah seorang Antropolog dari Universitas Hull, Inggris. Dalam bukunya yang diterbitkan 1926 berjudul , “Folk Literature of South Sumatera Redjang Ka Ga Nga Texts”.
Sehingga dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Kepahiang juga memiliki aksara Ka Ga Nga Kepahiang. Dan aksara Ka Ga Nga Rejang Kepahiang ini juga telah memenuhi beberapa kriteria. Diantaranya, aksara Ka Ga Nga memiliki nilai sejarah yang perlu dilestarikan. Aksara Ka Ga Nga mengandung kekhasan daerah yang usianya kurang lebih 50 tahun.
Aksara Ka Ga Nga juga mewakili masa gaya yang sudah lebih dari 50 tahun. Serta termasuk jenis budaya yang langka. Kemudian, aksara Ka Ga Nga lebih bersifat kedaerahan karena tidak semua masyarakat memiliki atau menguasai aksara tersebut. Aksara Ka Ga Nga memiliki arti khusus bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Yang mana nilai budaya tersebut sebagai penguat kepribadian masyarakat di daerah itu.
Dari kriteria-kriteria di atas, bahwa aksara Ka Ga Nga dinilai telah memenuhi kriteria persyaratan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Cagar Budaya Tak Benda (WBTB).
“Guna melindungi dan melestarikannya, baiknya Pemkab Kepahiang sudah seyogyanya menetapkan aksara Ka Ga Nga Kepahiang dan Batik Diwo menjadi Cagar Budaya Tak Benda. Ini supaya bisa menjadi warisan kebudayaan kepada generasi penerus”, harap Ice.
Alasan Batik Diwo Berevolusi Dari Batik Besurek
Sebagaimana diketahui, bahwa pada Batik Besurek, motif-motif yang digunakan adalah motif Kaligrafi Arab. Kaligrafi sendiri dalam arti sederhananya adalah menulis (dengan) indah. Batik Besurek, batik bersurat ditulis dengan kaligrafi yang konon mulai diciptakan pada 1985, sebagai upaya meneruskan warisan sejarah budaya kain bersurat yang pada abad XIII yang digunakan oleh para raja-raja di Sumatera sebagai penutup al-qur’an.
Sehingga pada zaman raja dahulu, kesan dari Batik Besurek ini hanya dikenakan oleh kaum atau golongan tertentu yang tentunya golongan orang-orang dari kasta/tingkat teratas. Hal itu cukup dimaklumi mengingat motif kaligrafi pada kain bersurat waktu itu mengibaratkan sebuah ayat-ayat al-quran yang pemakaian dan penempatan dari kain tersebut tidak bisa sembarangan peruntukkannya karena memiliki nilai sakral.
Upaya Pelestarian Batik Diwo
Sejak hadirnya Batik Diwo, upaya pelestarian batik khas Kepahiang ini dengan cara dibuatkan seragam resmi untuk para pegawai pemerintahan Kepahiang. Termasuk juga seragam sekolah, mulai dari tingkat SD hingga SMA/SMK sederajat.
Sebagai pendesain, Mariaty juga memproduksi Batik Diwo. Kreativitas dalam mendesain Batik Diwo, Mariaty berpegang kuat pada konsep dasar kearifan lokal Kepahiang. Dalam hal ini memunculkan motif kombinasinya yakni motif potensi alam Kepahiang.
“Saya banyak bermain motif di hasil pertanian dan perkebunan Kepahiang, seperti kopi, lada, padi dan sengon. Selain itu, saya juga padukan motif Bunga Kibut (Amorpophallus). Karena setahu saya bunga langka ini merupakan bunga khas dari tanah Rejang khususnya Kepahiang”, tutur Ice sapaan akrabnya.
Warna dasar tekstil yang bervariasi, membuat Mariaty tertantang dalam memadukan warna motif Ka Ga Nga dan motif kombinasinya. Karena dari hasil kreasinya, satu motif tak hanya dituangkan dalam satu warna dasar tekstil.
“Untuk desain Batik Diwo ini, sudah saya patenkan hak ciptanya. Tapi untuk hak paten dari Batik Diwo itu sendiri, itu kewenangan Pemkab Kepahiang yang mematenkannya ke kementeian terkait”, sambungnya.
Akankah Batik Diwo Jadi Kenangan?
Sekitar 2 tahun ini Batik Diwo jarang ditemukan di pasaran lokal khususnya di Kepahiang. Muncul pertanyaan apakah Pebatiknya sudah tidak produksi lagi atau ada indikasi lain ? Dalam perbincangan khusus RedAksiBengkulu.co.id dengan Mariaty, ia pun tidak menampiknya. Selaku salah satu pelaku batik, ia sendiri mengaku bingung.
Dijelaskannya, sejak munculnya Batik Diwo, Pemkab Kepahiang ketika itu membuat kebijakan di lingkungan pendidikan bahwa setiap pelajar diwajibkan mengenakan seragam Batik Diwo. Termasuk kebijakan untuk para pegawai pemerintahan khususnya di jajaran Pemkab Kepahiang. Namun beberapa tahun belakangan ini, Batik Diwo sepertinya ‘meredup’.
“Karena jujur saja, dulu setiap tahun saya sering menerima order seragam batik dari sekolah-sekolah. Tapi 2 tahun belakangan ini sudah tidak lagi. Saya sendiri tidak tahu, mungkin digarap oleh pelaku batik lainnya atau bisa jadi tidak ada lagi”, papar Mariaty.
Jika seandainya seragam sekolah Batik Diwo ini sudah tidak dikenakan lagi di kalangan pelajar Kepahiang dan pegawai pemerintahan, Mariaty pun sangat menyayangkannya. Mengingat Batik Diwo merupakan ciri khas Kepahiang yang harus dilestarikan. Dan ini, lanjut Mariaty, terlepas dari statusnya sebagai pelaku batik di Kepahiang.
“Terus terang saya sedih kalau Batik Diwo ini tak lagi dipakai masyarakat Kepahiang. Karena saya sendiri yang bukan berdarah Rejang, apalagi Kepahiang, saya tunjukkan kepedulian saya untuk Kepahiang”, tuturnya.
Pun demikian, Mariaty selalu berharap kepada masyarakat dan Pemkab Kepahiang agar Batik Diwo terus eksis. Khususnya Pemkab Kepahiang diharap mematenkan Batik Diwo itu ke pemerintah pusat sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam regulasi itu sudah tertuang jelas dalam pasal 3, pasa 31 dan pasal 41.
“Batik itu kuat. Batik itu sudah mendunia bukan sebatas lokal semata. Dan satu hal, bangsa luar begitu hormat dan sangat menghargai batik-batik karya anak bangsa di Indonesia ini. Bahkan mereka bangga mengenakan batik Indonesia. Dan Kepahiang belum terlambat untuk membatik”, tutup Mariaty.
Berikut beberapa desain Batik Diwo karya Mariaty Wijaya ;
Laporan : Aji Asmuni