Lintaswarta.co.id – Menjelang subuh, langit masih diliputi warna kelabu. Di kamar kecilnya yang remang, Raka duduk di tepi jendela, menatap kosong ke luar. Angin dingin berembus pelan, menyusup lewat celah-celah jendela yang tidak tertutup rapat. Pikirannya melayang, membawa kenangan yang kembali muncul dengan jelas. Ia kembali teringat tentang gelar-gelar yang pernah diberikan padanya oleh orang-orang di sekitar.
Related Post
Saat remaja, Raka bukanlah sosok yang mudah dimengerti. Tidak jarang ia mendengar teman-temannya menyebutnya dengan gelar yang aneh-aneh. Ia ingat dengan jelas saat seorang teman perempuannya menatapnya dengan senyum simpul, lalu berkata, "Kamu itu manusia labil." Gelar itu seolah menjadi identitas yang menempel padanya selama bertahun-tahun. Ada saat-saat ketika ia merasa tidak nyaman dengan sebutan itu, tapi kemudian ia tersadar, mungkin memang itulah dirinya – seorang yang sering ragu, tidak pernah benar-benar yakin dengan pilihan-pilihannya.
Kemudian ada lagi gelar lain yang datang dari seorang teman yang berbeda: "Manusia abstrak." Gelar itu diberikan setelah pertemuan singkat di sebuah kafe, saat Raka tidak bisa menjelaskan secara jelas apa yang sebenarnya ia rasakan. Kata-kata teman itu terngiang sampai hari ini. Raka, si manusia abstrak, yang pikirannya sering kali melayang ke tempat-tempat yang tidak bisa diikuti oleh orang lain.
Namun, gelar yang paling melekat dalam benaknya adalah "manusia seribu rahasia". Gelar itu datang dari sahabat terdekatnya, seseorang yang sudah bertahun-tahun mengenalnya tapi tetap merasa bahwa Raka menyimpan begitu banyak hal yang tidak bisa dibaca oleh siapapun. "Kamu kayak labirin," sahabatnya pernah berkata, "Setiap kali aku berpikir sudah mengenalmu, ternyata masih ada pintu lain yang tersembunyi."
Sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, Raka telah melewati masa remajanya dan memasuki fase dewasa. Namun, gelar-gelar itu tidak pernah berhenti. Yang terbaru, seseorang yang dia cintai juga memberinya gelar lain: manusia penuh prasangka. Raka terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran di balik ucapan itu. Ia sering kali memandang segala sesuatu dengan kecurigaan, menimbang kemungkinan terburuk sebelum sempat melihat kenyataan yang sebenarnya.
Seiring waktu, Raka mulai menyadari bahwa semua gelar yang ia terima mencerminkan cerminan dari berbagai sisi dirinya yang berbeda. Setiap orang melihat dirinya dari sudut pandang yang unik, dan ia – dengan semua keraguan dan pikirannya yang rumit – hanya berusaha memahami siapa dirinya di tengah berbagai persepsi itu.
Pagi itu, Raka tersenyum tipis. Ia tahu, meskipun semua orang memberinya gelar, pada akhirnya ia adalah manusia yang terus berubah. Tidak ada yang benar-benar bisa mengenalnya sepenuhnya, bahkan dirinya sendiri. Namun, dalam setiap proses pencarian jati dirinya, ia semakin mengerti bahwa hidup adalah tentang menerima segala kompleksitas yang ada di dalam diri, tanpa perlu mengkhawatirkan pandangan orang lain.
Raka mengalihkan pandangannya dari jendela, melihat ke arah cermin di sudut ruangan. Di sana, ia melihat bayangan dirinya – seseorang yang pernah dianggap labil, abstrak, penuh rahasia, dan penuh prasangka. Namun, di balik semua label itu, ia hanyalah Raka, seorang yang masih terus berjalan di jalan yang sudah ditentukan oleh Allah.
Tinggalkan komentar