Dilema Sampah di Komplek Perumahan Hingga Kampus

RedAksiBengkulu.co.id, LAMPUNG – Sampah selalu menjadi masalah yang serius di Indonesia. Tidak hanya di kota-kota besar namun hingga ke perkampungan dan pedesaan. Sampah banyak terlihat menumpuk di setiap sudut rumah di kota, menunggu petugas kebersihan mengangangkut sampah ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau Tempah Pembuangan Akhir (TPA) Sampah. Kebanyakan mereka menggunakan jasa angkut sampah yang setiap bulannya dikenakan iuran. Sedang masyarakat yang tinggal di perkampungan dan pedesaan lebih memilih membakar sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap harinya bebarengan dengan sampah dedaunan.
Ketika mengunjungi salah satu TPS Sementara di Perumahan Bukit Kemiling Permai (BKP) Lampung sekitar 200 meter mendakati TPS Sementara BKP, pemandangan dan bau tak sedap mewarnai kondisi lingkungan setempat. Banyak plastik berterbangan. Padahal lokasi perumahan ini tak jauh dari pusat kota Bandar Lampung. Di sisi lain, komplek perumahan ini memiliki pemandangan bagus di beberapa titik. Termasuk jalan utama memasuki komplek perumahan bersih dari sampah.
Menurut warga setempat yang juga sebagai petugas kebersihan, Zainal, menuturkan, ia sudah 10 tahun bertugas di komplek perumahan itu. Awalnya, belum banyak warga yang ingin tinggal di sana, namun kini jumlah Kepala Keluarga (KK) nya sudah lebih dari 2.000 KK.
Hanya saja dari ribuan KK itu, tidak seluruhnya menggunakan jasa Zainal sebagai pemungut sampah rumah tangga keliling. Kebanyakan dari mereka yang tak menggunakan jasanya beralasan karena mahalnya iuran dan seringkali sampah di rumah lama diangkut. Ada juga yang beralasan tidak butuh lagi jasa angkut sampah karena TPS dekat dan mudah dijangkau, sehingga mereka bisa membuangnya sendiri.
Ternyata diketahui TPS Perumahan BKP ini bukan TPS yang sebenarnya ditetapkan oleh pengelola. Menurut pernyataan Wanjaya, yang baru setahun menjabat Lurah Perumahan BKP, bahwa TPS sebenarnya telah ditunjuk oleh pengelola bukanlah di kelurahannya. Lokasi yang ditunjuk sebenarnya tidak jadi TPS karena lokasi itu berada di pertengahan perumahan dan dekat dengan sekolah. Sehingga banyak warga setempat tidak menyetujui penunjukan lokasi TPS tersebut.
“TPS dialihkan ke sini, karena blok (Komplek Perumahan BKP) ini dulunya masih sepi”, aku Wanjaya.
Wanjaya juga menjelaskan, awal ia menjabat sempat menjadikan kawasan TPS itu bersih. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama. Ketika itu ia menugaskan satpam untuk berjaga di sekitar TPS pada malam hari.
“TPS itu pernah bersih mbak, bersih sekali saat awal saya menjabat. Banyak warga yang membuang sampah malam hari. Lama-lama capek harus menunggu tempat sampah setiap malam”, sambungnya.
Wanjaya menambahkan, tidak hanya warga dari perumahan BKP yang membuang sampah di TPS tersebut, tapi banyak juga sampah dari warga lain. Bahkan, menurut petugas di TPS, sampah bukan dari rumah tangga seperti bekas kelapa muda (degan) dan kulit durian.
“Tiba-tiba sudah banyak sampah degan dan kulit durian. Itu kami tidak tau kapan buangnya ? Bisa jadi malam”, lanjutnya.
Wanjaga juga menutur, permasalahan sampah ini sudah sering didiskusikan dengan warga maupun pengelola. Namun permasalahan ini tidak pernah ada titik terangnya karena sulitnya menyatukan pemikiran.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan lingkungan bebas dari sampah masih sangat rendah. Sebagian dari masyarakat berprinsip, sampah yang dihasilkan dari rumahnya harus selalu dibuang dan yang terpenting sampah itu tidak berada dekat lingkungan tempat tinggalnya. Namun sikap kesewenangan terhadap ketidakpedulian dengan lingkungan lain, inilah yang menjadi penyebab dari banyaknya TPS liar.
Ini dibuktikan dari temuan di lapangan, bahwa masih banyak didapati salah seorang warga membuang sampah di pinggir jalan khususnya di sekitar kawasan TPS Perumahan BKP. Penulis menjumpai seorang pemuda yang menjinjing satu kantung plastik penuh sampah dan meletakkannya begitu saja di pinggir jalan masuk TPS Perumahan BKP. Ketika ditanya, warga tersebut berdalih sedang buru-buru.
“Nanti juga diangkut ke dalam (TPS Perumahan BKP) mbak sama petugasnya. Saya lagi buru buru nih”, jawabnya ketus dan tidak ingin menyebutkan identitasnya.
Belum genap satu jam, terlihat 1 unit mobil pick up berisi sampah material hendak dibuang ke TPS tersebut. Hampir terjadi bentrok antara warga dengan petugas yang sedang berada di lokasi. Wajar demikian, karena petugas keberatan jika sampah material di buang di sekitar lokasi kerja karena sampah material bisa membahayakan mereka yang bertugas saat memindahkan sampah ke truk pengangkutan terakhir.
“Kami harus membuang kemana lagi mbak? Di sini lah satu satunya tempat pembuangan sampah”, kata si pengemudi pick up, Aris.
Sampah di Lingkungan Kampus
Permasalahan sampah juga terjadi di lingkungan kampus. Dalam hal ini pada Universitas Negeri Lampung (Unila). Ini membuktikan, bahwa pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan kesadaran terhadap kebersihan lingkungan khususnya sadar sampah. Buktinya banyak sampah bertebaran di sekitar gazebo, student corner dan tempat-tempat bersantai mahasiswa lainnya.
Ketika ditanya tanggapan mereka terkait sampah yang berserakan di sekitar lingkungan kampus, beragam pula penjelasan dari mahasiswa. Ada yang mengaku lupa telah membuang sampah sembarangan. Ada juga yang menjawab tempat sampah terlalu jauh. Ironinya, ada juga yang berpendapat sampah yang dibuang ukurannya kecil, hanya bungkus permen. Sehingga sampah itu akan hilang sendirinya ditiup angin. Bahkan ada juga yang menganggap lokasi yang banyak sampahnya kelak akan dibersihkan oleh petugas kebersihan. Sehingga banyaknya sampah tidak masalah bagi mahasiswa itu.
Selain sampah plastik, bungkus makanan atau minuman, sebagai penyumbang sampah. Dan sampah terbanyak di lingkungan kampus adalah sampah kertas. Karena kertas masih sebagai kebutuhan primer bagi akademisi. Walau di beberapa tempat, sudah ada kampus yang mulai beralih ke teknologi guna mengurangi penggunaan kertas. Namun tetap saja tidak semua kalangan dapat menerima teknologi sebagai pengganti kertas.
Gerakan Komunitas Peduli Sampah
Syukurnya, di Kota Bandar Lampung sudah muncul beberapa orang yang tergabung dalam komunitas yang melakukan pergerakan khususnya terhadap kepedulian sampah. Adalah Komunitas Earth Hour Bandar Lampung atau disingkat EH Bdl. Beberapa tahun belakang ini, EH Bdl mengkampanyekan gaya hidup ramah lingkungan. Seperti kantung plastik sampah yang sekali pakai langsung buang diganti dengan tas/kantung jinjing yang bisa dipakai berulang-ulang atau dikenal dengan istilah totebag. Lalu membawa botol minum (tumbler ) dan kotak makan sendiri dari rumah. Dengan begitu, selaku konsumen makan, ketika belanja makanan yang harus dibungkus, kita tidak lagi menggunakan bungkus kemasan namun sebagai penggantinya, makanan itu dimasukkan ke kotak makan. Termasuk minuman.
Kegiatan ini dimulai oleh para volunteer dan terus dikampanyekan di lingkungan sekitar. Mulai dari keluarga, sahabat, teman dan tetangga. Harapannya, dengan pola persuasif ini, akan lebih banyak masyarakat yang ikut dalam aksi ramah lingkungan tersebut.
EH Bdl juga sudah beberapa kali melakukan aksi bersama dengan komunitas lain. Salah satunya Komunitas Green Generation untuk melakukan operasi semut ketika momen Car Free Day (CFD) di Tugu Adipura, Bandar Lampung. EH Bdl juga melakukan EH Goes To School sebagai bentuk kampanye ramah lingkungan kepada pelajar. Ini dilakukan guna tertanam kepedulian lingkungan sejak dini.
Koordinator Kota EH Bdl, Aji Darmawan mengatakan, keberadaan EH Bdl diharapkan dapat meluaskan kampanye tentang lingkungan ini khususnya dilingkungan volunteer. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk berkontribusi dalam aksi mengurangi sampah. Diantaranya tidak menggunakan sedotan, membawa bekal atau membeli makan secara prasmanan dan menggunakan totebag. Untuk sampah kertas, lanjut Aji, ia menyarankan untuk menggunakan kertas di kedua sisi dan memanfaatkan sisa kertas dengan baik. Lalu mendaur ulang dan menggunakan kertas buram.
“Harapan kami ke depan, supaya sampah yang dihasilkan dapat terkelola dengan baik. Setiap orang sadar dengan sampah yang dihasilkan dan tidak hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uang namun lalu membeli, namun juga memikirkan bagaimana membuang sampahnya”, demikian Aji.
Laporan : Ida Lestari, Lampung