Refleksi Hari Pendidikan Nasional, Minat Baca Di Bengkulu Hanya 0,01 Persen

Laporan : Tata Riri

Ilustrasi cara komunitas gemar membaca melakukan upaya-upaya agar masyarakat gemar membaca. (Foto : Dokumen)

RedAksiBengkulu.co.id, BENGKULU – Refleksi peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Indonesia khususnya di Bengkulu, ternyata masih memprihatinkan. Bayangkan! Data dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Bapusarda) Bengkulu menunjukkan, persentase minat baca di Bengkulu hanya 0,01 persen. Ini diutarakan Koordinator Raflesia Membaca, Sri Hardiyanti kepada RedAksiBengkulu.co.id.

Dikatakannya, minat baca di Bengkulu masih rendah dan jauh untuk dijadikan sebagai hobi. Seiring perkembangan teknologi yang semakin maju, budaya membaca saat ini terkesan menjadi suatu hal yang aneh dan cupu bagi kalangan remaja. Bahkan karena stigma negatif tentang gerakan membaca mengakibatkan penurunan minat baca di kalangan remaja.

“Fenomena saat ini yang sering saya perhatikan di kalangan remaja, kegiatan membaca justru terkesan aneh atau bahkan dinilai sok rajin oleh teman sebayanya. Sehingga, perspektif seperti ini justru menurunkan minat membaca mereka”, ujar perempuan yang akrab disapa Iik.

Sementara pada dasarnya, minat membaca harus digalakkan sejak dini. Peran orang tua sangat penting dalam tumbuhnya minat baca anak, terutama di rumah. Karena rumah merupakan lingkungan terdekat anak, khususnya dalam keluarga. Namun, sangat disayangkan, orang tua saat ini lebih memberikan keleluasaan terhadap anak dalam penggunaan gadget sehingga anak lebih memilih gadget dibandingkan buku bacaan.

“Peran dari orang tua memberikan pengaruh yang signifikan dalam menumbuhkan minat membaca anak di rumah. Karena, dimulai dari rumahlah anak-anak mulai diperkenalkan oleh kegiatan literasi terlebih didukung oleh penyediaan fasilitas bahan bacaan di rumah”, lanjutnya.

Sayangnya, sambung Iik, sekarang lebih banyak orang tua yang memberikan fasilitas games dan gadget sebagai sarana hiburan yang justru membuat anak menjadi kecanduan, lupa waktu dan jauh dari buku-buku. Menurutnya lagi, rendahnya minat baca juga disebabkan oleh belum membudayanya membaca di masyarakat, sehingga membaca masih dianggap asing oleh sebagian orang.

“Selain itu tidak adanya warisan budaya membaca juga membuat generasi sulit menemukan ‘role model’ yang dapat menjadi panutan bagi anak-anak dan remaja untuk rajin membaca. Berbeda dengan negara Jepang yang memang dari nenek moyangnya sudah terbiasa membaca”, imbuhnya.

Faktor lingkungan pun juga menjadi salah satu penyebab kurangnya minat baca. Seperti minimnya lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah kurang membangun kesadaran membaca. Fasilitas buku yang minim dan desain perpustakaan yang membosankan juga menjadi salah satu faktor membuat anak-anak tidak tertarik untuk datang dan mengunjungi perpustakaan.

Untuk itu, sebagai generasi muda harus bisa mengupayakan minat baca di kalangan remaja. Setidaknya, dengan membangun lingkungan gemar membaca. Selain itu, diharapkan peran serta sekolah untuk memberikan perhatian khusus dan mencari solusi dalam meningkatkan minat baca.

“Peran serta sekolah dibutuhkan untuk meningkatkan minat baca remaja karena kecenderungan pembaca terutama siswa tidak menyelesaikan bahan bacaannya. Malah bahkan ada juga yang tidak pernah membaca habis satu buku selama menempuh jenjang pendidikan di sekolah”, kata Iik lagi.

Nah, pada momentum Hardiknas ini, pada umumnya semua pemuda bisa berkontribusi dengan terjun langsung ke masyarakat untuk mengkampanyekan gerakan gemar membaca. Seperti yang dilakukan Komunitas RaMe (Rafflesia Membaca) perpustakaan bergerak di Bengkulu, Komunitas Literasi Titian Pelangi dan komunitas lainnya.

Pun demikian, apa yang sudah dilakukan komunitas gemar membaca ini tak luput dari peran pemerintah guna meningkatkan minat baca di masyarakat. Seperti adanya perpustakaan keliling dan peningkatan fasilitas di perpustakaan. Karena memang kenyataannya saat ini implementasi ke arah demikian masih sangat kurang.

“Peningkatan fasilitas perpustakaan yang membuat pengunjung lebih nyaman dalam membaca memang sangat kurang. Semisal, apakah bus perpustakaan keliling sudah cukup menjangkau anak-anak yang tinggal jauh dari perpustakaan? Lalu, apakah pegawai perpustakaan cukup ramah dalam melayani pengunjung?”, sambung Iik.

Atau, imbungnya lagi, apakah sudah pemerintah melakukan kampanye-kampanye gemar membaca yang dilaksanakan melalui program-program yang bukan semata memberikan pengaruh gemar membaca dadakan namun lebih kepada program yang menyentuh kesadaran membaca. Sehingga bisa mempengaruhi pola aktivitas membaca dalam kehidupan sehari-hari?

“Hal-hal inilah yang semestinya dievaluasi dalam memanfaatkan fasilitas ke depannya”, demikian Iik.

Facebooktwittermail

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Positive SSL