Ada 3 cara dalam menunaikan Zakat Fitri.
1. Siapkan Zakat Anda dalam Bentuk Beras
Siapkan zakat Anda, yaitu berupa makanan yang biasa dimakan di negeri tempat Anda tinggal. Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “jenis zakat yang dikeluarkan adalah makanan yang secara umum dimakan oleh penduduk negeri, baik itu burr (gandum), sya’ir (gandum), tamr (kurma), zabib, qith atau jenis makanan yang lain yang biasa dimakan dan dimanfaatkan oleh penduduk negeri seperti beras, jagung, dan yang menjadi makanan pokok orang-orang di masing-masing negeri” (Al-
Mulakhas Al-Fiqhi, 1/351)
Maka di negeri kita Indonesia makanan yang bisa digunakan untuk menunaikan Zakat Fitri adalah semisal beras atau makanan lainnya yang menjadi makanan pokok di sebagian daerah. Zakat fitri wajib berupa makanan karena itulah yang disebutkan dalam dalil-dalil. Sebagaimana riwayat lain dari Ibnu Abbas Radhiallaahu ’Anhuma,
فرضَ رسولُ اللهِ زكاةَ الفِطرِ طُهرةً للصَّائِمِ من اللَّغوِ و الرَّفَثِ وطُعمَةً للمساكينِ
“Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan Zakat Fitri untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari laghwun dan rafats dan untuk memberi makan orang-orang miskin”. (HR. Abu Daud No. 1609, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Juga dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata ;
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami dahulu biasa mengeluarkan Zakat Fitri berupa satu sha’ makanan” (HR. Bukhari No. 1506, Muslim No. 985)
Oleh karena itu, tidak tepat mengeluarkan Zakat Fitri dengan uang karena yang disebutkan dalil-dalil adalah makanan. Sedangkan di zaman Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam pun sudah ada uang namun mereka tidak menunaikan Zakat Fitri dengan uang. Tidak bolehnya mengeluarkan Zakat Fitri dengan uang adalah pendapat jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyyah.
Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, bahwa mengeluarkan Zakat Fitri dengan qimah (nilai), semisal membayarnya dengan uang, ini menyelisihi sunnah, dan tidak mencukupi. Karena tidak dinukil dari Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dan juga dari para sahabat bahwa mereka mengeluarkannya dengan qimah (nilai). (Al-Mulakhash Al Fiqhi, 1/353)
Berapa Kadar Makanan yang Dikeluarkan?
Kadar makanan yang dikeluarkan adalah satu Sha’ sebagaimana disebutkan dalam hadits. Satu Sha’ adalah empat mud, dan satu mud itu seukuran penuh telapak tangan orang dewasa normal jika digabungkan, atau sekitar 3 kg. Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan ;
زكاة الفطر مقدارها بصاعنا الآن ثلاثة كيلو تقريبًا؛ لأنه خمسة أرطال بصاع النبي صلى الله عليه وسلم، وهو باليدين الممتلئتين المتوسطتين أربع مرات، كما ذكر في القاموس وغيره
“Kadar Zakat Fitri zaman sekarang adalah sekitar 3 kg. Karena satu Sha’ Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah semisal dengan lima rathl, yaitu seukuran penuh telapak tangan orang dewasa normal sebanyak empat kali. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qamus Al Muhith dan kitab lainnya”. (Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, Juz 15 Hal 279 No. 127)
Ada beberapa perbedaan dalam konversi satu sha kepada ukuran lain seperti kilogram, namun jika seseorang mengeluarkan Zakat Fitri sebanyak 3 kg itu sudah pasti melebihi kadar yang disyaratkan. Dan jika ada kelebihannya maka teranggap sebagai sedekah.
2. Niat Zakat Fitri
Menetapkan niat dalam hati untuk mengeluarkan Zakat Fitri atas nama diri sendiri dan juga orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Sebagimana disebutkan Ibnu Umar Radhiallaahu ‘Anhuma ;
أمر رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بصدقةِ الفطرِ عن الصغيرِ والكبير ِوالحُرّ والعبدِ ممَّنْ تمونونَ
“Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mengeluarkan Zakat Fitri bagi anak-anak maupun orang dewasa, orang merdeka maupun hamba sahaya, yaitu orang-orang yang menjadi tanggungannya”. (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya, 2/330, dihasankan Al-Albani dalam Irwaul Ghalil No. 835)
Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan ; “orang-orang yang menjadi tanggungannya adalah orang-orang yang wajib dinafkahi”. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 1/352)
Maka seorang ayah mengeluarkan zakat untuk anak-anak dan istrinya. Seorang pemilik budak mengeluarkan zakat untuk budaknya. Dan disunnahkan untuk mengeluarkan zakat bagi janin yang belum lahir, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan ;
“disunnahkan untuk mengeluarkan zakat bagi janin berdasarkan perbuatan ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu’anhu”. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 1/352)
Beliau juga menjelaskan, “Orang yang zakat fitrinya menjadi tanggungan orang lain, jika ia mengeluarkan Zakat Fitrinya dengan harta sendiri tanpa izin orang yang menanggung dia, ini sah dan boleh. Karena memang pada asalnya kewajiban itu ada pada dirinya. Adapun orang lain yang menanggung itu mendapat limpahan kewajiban, namun bukan asal. Lalu jika seseorang membayarkan Zakat Fitri untuk orang lain yang bukan tanggungannya, dengan seizinnya maka boleh dan sah. Namun tidak boleh jika tanpa izin maka tidak boleh dan tidak sah”. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 1/352)
3. Serahkan Zakat Fitri Kepada Siapa ?
Menyerahkan Zakat Fitri kepada Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Yaitu orang-orang faqir dan miskin. Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ’Anhuma ;
فرضَ رسولُ اللهِ زكاةَ الفِطرِ طُهرةً للصَّائِمِ من اللَّغوِ و الرَّفَثِ وطُعمَةً للمساكينِ
“Rasulullaah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah mewajibkan Zakat Fitri untuk mensucikan orang-orang yang berpuasa dari laghwun dan rafats, dan untuk memberi makan orang-orang miskin”. (HR. Abu Daud No. 1609, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Atau boleh juga diwakilkan penyerahannya kepada orang yang akan menyalurkannya kepada orang-orang miskin. Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, “Hendaknya menyerahkan Zakat Fitri kepada Mustahiq-nya pada waktu yang ditentukan tersebut, atau diserahkan kepada wakil yang bersedia menyalurkannya”. (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 1/354)
Perlukah Mengucapkan Lafadz Akad Ijab-Qabul?
Para ulama menjelaskan, bahwa dalam transaksi atau muamalah sedekah, tidak diwajibkan lafadz ijab-qabul. Dan Zakat Fitri termasuk sedekah, yaitu sedekah yang wajib. Maka cukup menyerahkan harta kepada penerimanya, itu sudah sah. Dalilnya hadits berikut ;
أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
“Al-Hasan bin Ali mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullaah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?” (HR. Muslim)
Al-Hafidz Al-Iraqi, ulama besar Madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini. Dalam hadits ini ada faidah bahwa tidak disyaratkan lafadz ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman Radhi’allaahu ’Anhu hanya sekedar meletakkan (kurma tersebut).
Dan Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah sedekah yang haram (bagi beliau). Tidak ada lafadz qabul dari Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh Madzhab Asy-Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka berdalil dengan hadits ini.
Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam dan Beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafadz pun. Dan ini lah yang terjadi di masa Nabi ketika itu. Oleh karena itu,
mereka biasa memberikan sesuatu kepada anak kecil yang (lafadz ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama Madzhab Syafi’i yang mensyaratkan lafadz ijab-qabul seperti dalam jual beli, hibah, dan wasiat. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al-Ghazali dan murid-murid beliau. (Tharhu At Tatsrib fi Syarh At-Taqrib, 4/40)
Membayar Zakat Fitri tidak diwajibkan adanya lafadz ijab-qabul, hukumnya sah walau tanpa lafadz ijab-qabul. Apalagi dengan lafadz-lafadz yang ditetapkan sedemikian rupa atau dengan tata-cara tertentu seperti bersalaman atau semisalnya, tidak ada tuntunan demikian. Namun jika dilakukan dengan lafadz ijab-qabul, hukumnya boleh, karena para ulama hanya menjelaskan bahwa itu tidak wajib. Dan lafadz-nya tidak ada ketentuan, bahkan sangat fleksibel. Misalnya pembayar zakat mengatakan ; “Ini pak Zakat Fitri dari saya.“ Lalu penerima zakat menjawab, “Baik mas, terima kasih”. Ini sudah merupakan lafadz ijab-qabul.
Demikian tiga langkah menunaikan Zakat Fitri. Semoga Allaah Ta’ala memudahkan kita untuk menunaikannya dan semoga Allah menerima amalan shalih kita sehingga menjadi pemberat timbangan kebaikan kita di yaumul mizan.
Wabillaahi at taufiq was sadaad.
Sumber: muslim.or.id