Upah Masa Depan: Indonesia di Ambang Revolusi Ekonomi!

Upah Masa Depan: Indonesia di Ambang Revolusi Ekonomi!

Redaksibengkulu.co.id – Masa depan dunia kerja sedang bergejolak. Kita memasuki era ekonomi pasca-buruh (Post-Labor Economics), sebuah transformasi besar yang mengguncang fondasi upah dan tunjangan tradisional. Otomatisasi, perubahan demografi, dan tuntutan ekonomi baru menjadi pemicu utama. Dalam beberapa tahun mendatang, sistem upah yang kita kenal akan mengalami disrupsi signifikan, dan Indonesia harus siap menghadapi tantangan ini.

Riset terbaru menunjukkan sistem upah minimum statis akan ditinggalkan. Model upah minimum federal AS yang stagnan sejak Juli 2009, sementara inflasi terus menggerus daya belinya, menjadi contoh nyata. Hal serupa terjadi pada ‘upah subminimum’ untuk pekerja tip di AS yang telah dihapus di beberapa negara bagian. Di Indonesia, ini berarti sektor informal (hampir 60% tenaga kerja) akan didorong menuju standar yang lebih seragam, seiring dengan tuntutan transparansi global yang semakin kuat. Sistem negosiasi upah tertutup pun akan runtuh, digantikan oleh ‘wage posting’ transparan di lowongan kerja. Praktik ‘upah berdasarkan pengalaman’, yang rentan bias, juga akan ditinggalkan.

Upah Masa Depan: Indonesia di Ambang Revolusi Ekonomi!
Gambar Istimewa : akcdn.detik.net.id

Transparansi gaji terbukti menekan disparitas upah. Bahkan, upah berbasis lokasi geografis akan usang. Digitalisasi pekerjaan mengarah pada alokasi upah berbasis keahlian global, bukan lagi zona ekonomi lokal. Pekerja di Bandung bisa mendapat bayaran setara pekerja di Jakarta untuk pekerjaan jarak jauh (remote), namun ini juga menghadirkan persaingan dengan tenaga kerja global.

COLLABMEDIANET

Disrupsi tak hanya terjadi pada upah. Tunjangan kaku pun akan bernasib sama. Asuransi kesehatan berbasis perusahaan kemungkinan akan digantikan skema tunjangan portabel berbasis pemerintah, seperti perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tantangannya adalah menjangkau jutaan pekerja informal yang belum terintegrasi JKN. Tunjangan tetap non-fleksibel akan digantikan modul tunjangan ‘on-demand’, seperti dana pelatihan atau subsidi penitipan anak. Namun, regulasi ketenagakerjaan yang kaku di Indonesia menjadi penghambat. Sistem jaminan sosial tradisional pun mungkin akan berevolusi untuk mengakomodasi pekerja paruh waktu dan ekonomi gig yang terus berkembang. Konsep Universal Basic Benefits (UBB), yang diuji coba di beberapa negara maju, bisa menjadi alternatif.

Transformasi ini dipercepat oleh beberapa faktor di Indonesia. Deindustrialisasi prematur, dengan proyeksi PHK massal di sektor tekstil (sekitar 280.000 pekerja pada 2025), memaksa transisi cepat ke ekonomi berbasis keterampilan, tanpa kesiapan infrastruktur pelatihan yang memadai. Bonus demografi Indonesia (lebih dari 150 juta angkatan kerja) berpotensi menjadi aset jika reskilling berhasil, namun berisiko menjadi beban jika gagal. Tekanan global, termasuk gejolak pasar dan banjir impor murah, mempercepat otomatisasi industri dan memangkas pekerjaan upah rendah.

Risiko polarisasi ketenagakerjaan mengintai: pekerja informal berisiko kehilangan pendapatan tanpa jaring pengaman, sementara pekerja terampil di kota menikmati upah global. Eksklusi pekerja senior (sekitar 15% tenaga kerja berusia di atas 50 tahun) yang kesulitan akses pelatihan ulang, berpotensi meningkatkan pengangguran struktural. Ketimpangan geografis akan memperlebar jurang upah desa-kota.

Indonesia perlu adaptasi cepat. Integrasi ‘wage posting’ dalam platform rekrutmen, penghapusan upah subminimum untuk sektor formal (dengan pertimbangan UMKM), perluasan JKN, dan evolusi formula upah minimum provinsi ke ‘skill-based indexing’, merupakan langkah awal. Reformasi JKP, alokasi anggaran untuk Peta Jalan Reskilling Nasional, dan desentralisasi ekonomi melalui pembangunan pusat-pusat digital di luar Jawa, menjadi rekomendasi kebijakan strategis.

Transisi Indonesia menuju Post-Labor Economics akan lebih kompleks dibanding negara maju. Kecepatan adopsi skema tunjangan portabel, efektivitas alih keterampilan massal, dan kemampuan meredistribusi kesempatan kerja berbasis keahlian ke seluruh Nusantara, menjadi kunci keberhasilan. Kegagalan mengatasi tantangan ini berpotensi memicu stagnasi ekonomi dan eksklusi sosial. Kesuksesan kini bukan lagi tentang ‘mencari lowongan’, tetapi menciptakan peran baru yang memadukan keunikan manusia, penguasaan teknologi, dan agilitas ekonomi.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikutikami :

Leave a Comment