Redaksibengkulu.co.id – Pengembangan teknologi penyimpanan karbon (CCS/CCUS) di Indonesia diprediksi bakal menjadi ladang bisnis yang menggiurkan. Teknologi ini dianggap krusial dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun, jalan menuju kesuksesan bisnis ini ternyata berliku dan penuh tantangan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengakui sejumlah proyek percontohan CCS/CCUS telah berjalan dengan hasil positif. Namun, ia juga menyoroti risiko program ini justru menghambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Investasi yang tinggi dan kekhawatiran akan dampaknya terhadap EBT menjadi kendala utama. "CCS/CCUS menjadi jembatan transisi, karena tak semua energi fosil bisa langsung ditinggalkan," jelas Dadan.
Pemerintah, lanjut Dadan, serius membangun ekosistem CCS/CCUS yang optimal. Regulasi yang dianggap lebih maju dibanding negara tetangga, serta kerjasama dengan Singapura untuk proyek percontohan lintas batas sejak Oktober 2022, menjadi bukti komitmen tersebut. Kerjasama ini fokus pada pengembangan regulasi, studi kelayakan, dan kerangka hukum transportasi karbon antarnegara. "Ini peluang ekonomi, kita pastikan risiko, ekonomi, dan regulasi sesuai," tegas Dadan.

Related Post
Dwi Adi Nugroho, Koordinator Pokja Pengembangan Wilayah Kerja Migas Non-Konvensional Kementerian ESDM, menambahkan bahwa Permen ESDM No. 2 Tahun 2023 dan Perpres No. 14 Tahun 2024 menjadi landasan hukum pengembangan CCS/CCUS. Pemerintah juga tengah menyiapkan peraturan pemerintah untuk memperkuat regulasi bisnis CCS secara komprehensif, termasuk isu lintas batas yang membutuhkan payung hukum bilateral. "Kita tak mau hanya jadi tempat pembuangan karbon," tegas Dwi.
Firera, Vice President of Business Support dan Lead Carbon Management SKK Migas, menekankan pentingnya ekosistem yang terintegrasi, meliputi aspek teknis dan non-teknis. Tantangannya meliputi biaya tinggi, kelayakan ekonomi, hambatan teknologi, infrastruktur yang belum memadai, regulasi yang belum optimal, dan penerimaan publik yang masih terbatas. "Pendekatan lintas sektor dan kolaboratif sangat dibutuhkan," ujarnya. Firera juga melihat potensi CCS/CCUS sebagai sumber pendapatan baru bagi industri hulu migas.
Edi Karyanto, Direktur Perencanaan Strategis Portofolio dan Strategis Pertamina Hulu Energi (PHE), menyatakan kesiapan PHE dengan 12 proyek CCS/CCUS berkapasitas 7,3 Giga ton. Namun, pendanaan dan keekonomian proyek menjadi tantangan utama. Insentif fiskal seperti pengurangan pajak dan royalti sangat dibutuhkan.
Yahya Rachmana Hidayat, Executive Director Indonesia Climate Change Trust Fund Kementerian PPN/Bappenas, mengingatkan agar CCS/CCUS tidak menghambat transisi ke EBT. Program ini harus difokuskan pada sektor yang sulit didekarbonisasi, bukan untuk memperpanjang penggunaan energi fosil. Bappenas tengah mengembangkan strategi super green development yang mengintegrasikan EBT, hidrogen, nuklir, dan CCS.









Tinggalkan komentar