Redaksibengkulu.co.id – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta jiwa pada Maret 2025, turun 0,2 juta jiwa dibandingkan September 2024. Persentase penduduk miskin terhadap total populasi pun turun menjadi 8,47%, berkurang 0,1% dari periode sebelumnya. Namun, seorang ekonom senior mempertanyakan metode perhitungannya.
Garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan atau Rp 20.305 per hari dinilai terlalu rendah oleh Tauhid Ahmad dari INDEF. Menurutnya, angka tersebut hanya mencerminkan nilai nominal dan tak memperhitungkan nilai riil kebutuhan hidup saat ini. "Standarnya terlalu rendah, Rp 20 ribu itu terlalu rendah. Sehingga angka kemiskinannya turun. Harusnya dihitung nilai realnya," tegas Tauhid.
Ia membandingkan metode pengukuran kemiskinan di Indonesia dengan negara lain, menyarankan adopsi standar dari Bank Dunia atau lembaga internasional relevan. "BPS masih menggunakan metode lama, sehingga angka kemiskinan selalu tampak turun," tambahnya.

Related Post
Tauhid juga menyoroti perubahan pola konsumsi masyarakat. Kebutuhan non-makanan, seperti biaya transportasi dan pulsa, kini signifikan, namun belum sepenuhnya terakomodasi dalam perhitungan garis kemiskinan. "Orang miskin sekarang rata-rata punya motor. Dengan metode BPS, mungkin mereka tak dianggap miskin. Padahal, kebutuhan kendaraan dan pulsa harusnya dihitung," jelasnya. Ia menambahkan bahwa metode penghitungan garis kemiskinan yang digunakan saat ini sudah usang dan belum diperbarui sejak 1998.









Tinggalkan komentar